PERILAKU koruptor yang terjadi di Indonesia sudah mengakar, sehingga sakan sulit diberantas jika benar-benar tidak ada komitmen serta konsistensi para penegak hukum. Hal itu dilakukan tanpa memandang aspek lainnya yang akan melahirkan kemungkinan nilai permitif penegak hukum terhadap pelaku, yang berakibat kepada melemahnya penegakan tindak pidana korupsi itu sendiri.
Untuk itu, kata Pengamat Hukum Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Dr Frans Rengka, penting bagi setiap aparat penegak hukum untuk menjunjung tinggi konsistensi dan komitmen masing-masing serta secara kelembagaan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, demi memberantas tindak pidana korupsi.
Di negara yang boleh dibilang sebagai negara terkorup se-Asia ini, penting dikembangkan semangat pantang pandang bulu dalam pelaksanaan penegakan hukum, dengan terus menempatkan komitmen dan konsistensi tugas di atas segalanya. “Tidak akan bisa diberantas, jika hanya dengan memperbanyak lembaga pemberantasan korupsi, namun tanpa komitmen dan konsistensi para penegaknya,” kata Frans Rengka di Jakarta, Selasa (6/12).
Dijelaskannya, dibentuknya KPK sebagai sebuah lembaga ad hoc yang sifatnya sangat sementara oleh pemerintah karena desakan masyarakat itu. Hal itu akibat melemahnya upaya penegakan hukum khusus tindak pidan korupsi yang dilakukan oleh sejumlah lembaga konvensional seperti kepolisian dan kejaksaan.
“Sejumlah koruptor kakap enggan ditangkap dan bahkan dibiarkan saja lepas bebas berkeliaran sambil terus menghisap darah dari nadi masyarakat melalui tindak pidana korupsinya,” kata Frans Rengka.
Hal itu telah melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap dua lembaga yang memiliki fungsi penyidikan dan penyelidikan tindak pidana korupsi tersebut di negara ini dan dibentuklah KPK. Karena itu, penting bagi kedua lembaga itu untuk terus mengubah penampilannya dalam melaksanakan tugas dan fungsi menegakan hukum dan keadilan di negeri ini, termasuk di dalamnya tindak pidana korupsi.
“Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap dua lembaga tersebut kembali bangkit. Dengan demikian bisa terus melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing tanpa harus “diganggu” dengan lembaga bayangan bentukan pemerintah sebagai desakan masyarakat,” ujarnya.
Terhadap analisis kinerja yang bakalan dihasilkan oleh KPK dengan terpilihnya Abraham Samad sebagai Ketua KPK yang baru, dosen Filsafat Hukum itu mengatakan, belum bisa diukur karena formasi lembaga KPK yang baru dengan nahkoda barunya yang adalah pendiri Anti Corruption Committee (ACC) itu, belum melaksanakan aksinya.
“Penilian baru bisa dilakukan setelah menjelang akhir masa jabatan atau paling tidak separuh waktu masa tugasnya,” kata Frans Rengka.
Namun demikian, dia optimis jika pemberantasan korupsi di Indonesia bisa berjalan baik, jika komitmen dan konsistensi para penegak hukumnya bisa menjadi dasar pijak perjuangan dalam melaksankan tugas dan fungsinya.
Dia berharap, agar tidak terjadi penyimpanan harapan yang berlebih kepada pimpinan KPK yang baru, karena akan memberikan kekecewaan yang mendalam, jika akhirnya tidak memberikan kepuasan terhadap harapan yang dipertaruhkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
“Kita boleh berharap dan terus mendukung dengan tanpa menaruh harapan yang berlebih. Sejauh komitmen dan konsistensi para penegak hukum itu ada, sejauh itulah penegakan pemberantasan korupsi itu dilakukan di negeri ini,” kata doktor hukum jebolan Universitas Diponegoro Semarang itu.(dbs/ant/hms)
0 komentar:
Posting Komentar